Senin, 27 Desember 2010

Penghayatan Makna Ibadah Puasa

Dari berbagai ibadah dalam  Islam,  puasa  di  bulan  Ramadhan
barangkali   merupakan   ibadat  wajib  yang  paling  mendalam
bekasnya pada jiwa seorang Muslim. Pengalaman  selama  sebulan
dengan  berbagai  kegiatan  yang menyertainya seperti berbuka,
tarawih dan makan sahur senantiasa  membentuk  unsur  kenangan
yang  mendalam  akan  masa kanak-kanak di hati seorang Muslim.
Maka  ibadah  puasa  merupakan  bagian  dari  pembentuk   jiwa
keagamaan  seorang Muslim, dan menjadi sarana pendidikannya di
waktu kecil dan seumur hidup. Semua bangsa Muslim  menampilkan
corak keruhanian yang sama selama berlangsungnya puasa, dengan
beberapa variasi tertentu dari satu ke lainnya. Maka  kekhasan
bangsa   kita  dalam  menyambut  dan  menjalani  ibadah  puasa
Ramadhan telah pula menjadi perhatian  orang  Muslim  Arab  di
akhir   abad   yang   lalu.  Seorang  sarjana  bernama  Riyadl
menyebutkan  bahwa  di  Jawa  (yang  dicampuradukkan   olehnya
sebagai  bagian  dari India) para pemeluk Islam mempunyai cara
yang khas dalam menyambut dan menjalani ibadah  puasa.  Mereka
itu, kata Prof. Riyadl.
 
    pergi ke masjid beramai-ramai di saat tenggelam matahari
    untuk shalat Maghrib dan berbuka puasa, kemudian
    melakukan shalat 'isya dan tarawih diteruskan dengan
    membaca al-Qur'an (tadarrus) setiap malam satu juz'
    sehingga mereka dapat menghatamkan Kitab Suci itu pada
    suatu malam di bulan suci. Dan dalam berbuka puasa
    mereka makan bersama suatu jenis makanan nasional yang
    menyerupai tha'miyyah (sejenis kue) pada kita, tetapi
    terbuat dari kacang polong dan bukannya dari kacang
    buncis. 
 
Dari penuturan sederhana itu maka  tidak  terlalu  salah  jika
kita  kaum  Muslim  Indonesia  mempunyai  kesan yang amat khas
tentang bulan Ramadhan, agaknya  lebih  dari  kaum  Muslim  di
negeri-negeri  lain.  Bulan Ramadhan merupakan bulan keagamaan
dengan intensitas yang tinggi, yang bakal  meninggalkan  kesan
mendalam  pada mereka yang terlibat. Kekhasan suasana Ramadhan
pada bangsa  kita  tercermin  juga  dalam  suasana  Hari  Raya
Lebaran atau 'Idul-Fitri yang khas Indonesia. Maka sudah tentu
akan baik sekali jika kita  memahami  berbagai  hikmah  ibadah
puasa yang kita jalankan selama bulan itu.
 
PUASA DI ANTARA BERBAGAI UMAT
 
Sebelum kita membicarakan hikmah ibadah  yang  khas  ini,  ada
baiknya  kita menyempatkan diri menengok sejenak ke masa lalu,
guna memperoleh sedikit bahan perbandingan  tentang  bagaimana
puasa itu dijalankan oleh berbagai golongan manusia.
 
Firman   Allah   berkenaan   dengan   kewajiban  kaum  beriman
menjalankan ibadah puasa menyebutkan adanya  kewajiban  serupa
atas  manusia  sebelum  mereka:  "Wahai  sekalian  orang  yang
beriman! Diwajibkan atas kamu  sekalian  berpuasa  sebagaimana
telah   diwajibkan   atas   mereka  sebelum  kami,  agar  kamu
bertaqwa."  Ini  menunjukkan  adanya  ibadat  puasa  pada
umat-umat sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
 
Menurut  para  ahli,  puasa merupakan salah satu bentuk ibadat
yang paling mula-mula  serta  yang  paling  luas  tersebar  di
kalangan  umat  manusia.  Bagaimana puasa itu dilakukan, dapat
berbeda-beda dari satu umat ke umat yang lain, serta dari satu
tempat  ke  tempat  yang  lain.  Bentuk puasa yang umum selalu
berupa sikap menahan diri dari  makan  dan  minum  serta  dari
pemenuhan  kebutuhan biologis. Juga ada puasa berupa penahanan
diri  dari  bekerja,  malah  dari  berbicara.   Puasa   berupa
penahanan  diri  dari  berbicara  dituturkan  dalam  al-Qur'an
pernah dijalankan  oleh  Maryam,  ibunda  Nabi  Isa  al-Masih.
Karena  terancam akan diejek oleh masyarakatnya bahwa ia telah
melakukan suatu perbuatan  keji  (sebab  ia  telah  melahirkan
seorang  putera tanpa ayah), maka Allah memerintahkannya untuk
melakukan puasa (shawm) dengan tidak berbicara kepada siapapun
juga. Firman Allah berkenaan dengan hal ini:
 
    ... Lantaran itu, makanlah dan minumlah (wahai Maryam),
    serta tenangkanlah dirimu; Dan jika terjadi engkau
    melihat seseorang, maka katakan kepadanya, 'Sesungguhnya
    aku berjanji (nadzar) untuk melakukan puasa (shawm)
    kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu hari ini aku tidak
    akan berbicara kepada siapapun jua. 
 
Jadi pokok amalan (lahiriah) puasa ialah pengingkaran  jasmani
dan   ruhani   secara  sukarela  dari  sebagian  kebutuhannya,
khususnya  dari  kebutuhan  yang  menyenangkan.   Pengingkaran
jasmani  dari  kebutuhannya,  yaitu  makan  dan  minum,  dapat
beraneka ragam. Kaum Muslim berpuasa dengan menahan diri  dari
makan  dan  minum  itu  secara  mutlak  (artinya, semua bentuk
makanan dan minuman  dihindari,  tanpa  kecuali),  sejak  dari
fajar  sampai  terbenam  matahari.  Tetapi  ada umat lain yang
berpuasa  dengan  menghindari  beberapa  jenis  makanan   atau
minuman  tertentu  saja.  Konon  kaum Sabean (al-Shabi'un) dan
para pengikut Manu  (al-Manuwiyyun),  yaitu  kelompok-kelompok
keagamaan  di  Timur Tengah kuna, khususnya di Mesopotamia dan
Persia,  adalah  umat-umat  yang  menjalankan   puasa   dengan
menghindari  jenis  tertentu makanan dan minuman itu. Demikian
pula halnya dengan kaum Kristen, khususnya kaum Kristen  Timur
di Asia Barat dan Mesir.
 
Dari  segi  waktu  pun  terdapat  keanekaragaman  dalam amalan
berpuasa. Ada umat yang menjalankan puasa hanya untuk sebagian
siang,  atau  seluruh  siang,  atau siang dan malam sekaligus.
Bahkan juga ada yang menjalankannya hanya  untuk  malam  hari.
Karena  itu  sebagian dari para ahli tafsir dalam Islam merasa
perlu meneranghan hikmah puasa siang hari  saja  seperti  yang
dijalankan   oleh  kaum  Muslim.  Maka  al-Jurjawi,  misalnya,
memandang bahwa puasa di siang hari adalah  yang  lebih  utama
daripada  di  malam  hari,  karena  lebih berat. Ini dikaitkan
dengan ketentuan, menurut sebuah Hadist  Nabi,  bahwa  "Ibadat
yang  paling  utama  ialah  yang paling mengigit (ahmaz yakni,
paling berat)",  dan  bahwa  "Sebaik-baik  amalan  ialah  yang
paling menggigit." [4] Nampak bahwa ibadah puasa memang sangat
berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah  (exercise),  yaitu
latihan  keruhanian,  sehingga  semakin berat semakin baik dan
utama, karena semakin kuat membekas pada jiwa dan  raga  orang
yang melakukannya.
 
Berkenaan  dengan  puasa  di  bulan  Ramadhan, disebutkan oleh
al-Jurjawi bahwa sebagian  ahli  tafsir  Yahudi  dan  Kristen,
namun  kemudian  mereka tinggalkan. Tidak ada bukti yang cukup
kuat untuk mendukung pandangan serupa itu, kecuali  barangkali
untuk  orang-orang  Yahudi  dan Kristen Arab di Jazirah Arabia
karena terpengaruh atau meneruskan  adat  kebiasaan  setempat.
Sebab ada petunjuk bahwa berpuasa di bulan Ramadhan itu banyak
dilakukan oleh berbagai suku Arab di zaman Jahiliah, khususnya
suku  Quraisy.  Dan  memang  banyak  amalan yang disyari'atkan
dalam  Islam  telah  pula   disyari'atkan   kepada   umat-umat
sebelumnya,   sebagaimana   diisyaratkan  dalam  firman  Allah
tersebut  di  atas,  sebagaimana  juga   jelas   bahwa   Islam
mengukuhkan  sebagian  ibadat  sebelum Islam, seperti beberapa
amalan tertentu dalam haji, setelah semuanya  itu  dibersihkan
dari unsur-unsur yang tidak sejalan dengan Tawhid.
 
Berdasarkan  itu  semua  dapat dikatakan bahwa puasa merupakan
salah satu mata rantai  yang  menunjukkan  segi  kesinambungan
atau  kontinuitas  agama-agama. Dalam hal Islam, puasa menjadi
salah satu bukti bahwa  agama  itu  merupakan  kelanjutan  dan
penyempurnaan  dari  agama-agama  Allah  yang telah diturunkan
kepada   umat-umat   sebelumnya.   Segi   kesinambungan   atau
kontinuitas  Islam dengan agama-agama sebelumnya itu merupakan
hal yang dengan sangat  kukuh  dijelaskan  dalam  Kitab  Suci,
yaitu  dalam  perspektif  bahwa  peran Nabi Muhammad saw ialah
tidak lain meneruskan dan menggenapkan misi suci para Nabi dan
Rasul sebelumnya sepanjang sejarah:
 
    Sesungguhnya Kami (Allah) telah mewahyukan (ajarkan)
    kepada engkau (Muhammad) sebagaimana telah Kami wahyukan
    kepada Nuh dan kepada para Nabi sesudahnya, dan yang
    telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq,
    Ya'qub serta anak cucunya, dan kepada 'Isa, Ayyub,
    Yunus, Harun dan Sulaiman; sedangkan kepada Dawud telah
    Kami berikan Kitab Zabur.
    
    Juga kepada para Rasul yang telah Kami kisahkan mereka
    itu kepada engkau sebelum ini, serta kepada para Rasul
    yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada Engkau. Dan
    sungguh Allah telah berbicara (langsung) dengan Musa.
    
    Yaitu para Rasul yang membawa kegembiraan dan ancaman,
    agar tidak lagi ada alasan bagi manusia atas Allah
    sesudah para Rasul itu. Allah itu Maha Mulia dan Maha
    Bijaksana.
    
    Namun Allah bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepada
    engkau itu ia turunkan dengan pengetahuanNya, begitu
    pula para malaikat pun semuanya bersaksi. Dan
    (sebenarnya) cukuplah Allah sebaga saksi.
 
PUASA, KESUCIAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI
 
Sebuah Hadits menuturkan tentang adanya  firman  Tuhan  (dalam
bentuk  Hadits Qudsi): "Semua amal seorang anak Adam (manusia)
adalah untuk dirinya kecuali puasa,  sebab  puasa  itu  adalah
untuk-Ku,  dan  Aku-lah  yang  akan  memberinya  pahala." 
Berkaitan dengan ini Ibn al-Qayyim al-Jawzi memberi penjelasan
bahwa puasa itu
 
    ... adalah untuk Tuhan seru sekalian Alam, berbeda dari
    amal-amal yang lain. Sebab seseorang yang berpuasa tidak
    melakukan sesuatu apa pun melainkan meninggalkan
    syahwatnya, makanannya dan minumannya demi Sesembahannya
    (Ma'bududu, yakni,Tuhan-NM). Orang itu meninggalkan
    segala kesenangan dan kenikmatan dirinya karena lebih
    mengutamakan cinta Allah dan ridla-Nya. Puasa itu
    rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya, yang orang
    lain tidak mampu melongoknya. Sesama hamba mungkin dapat
    melihat seseorang yang berpuasa meninggalkan segala
    sesuatu yang membatalkan makan, minum, dan syahwatnya
    demi Sesembahannya, maka hal itu merupakan perkara yang
    tidak dapat diketahui sesama manusia. Itulah hakikat
    puasa.
 
Jadi salah satu  hakikat  ibadah  puasa  ialah  sifatnya  yang
pribadi atau personal, bahkan merupakan rahasia antara seorang
manusia dengan Tuhannya. Dan segi  kerahasiaan  itu  merupakan
letak  seorang  manusia  dengan Tuhannya. Dan segi kerahasiaan
itu merupakan letak dan sumber hikmahnya, yang kerahasiaan itu
sendiri  terkait  erat  dengan makna keikhlasan dan ketulusan.
Antara  puasa  yang  sejati  dan  puasa  yang  palsu  hanyalah
dibedakan  oleh,  misalnya, seteguk air yang dicuri minum oleh
seseorang ketika ia berada sendirian.
 
Puasa benar-benar merupakan latihan dan ujian  kesadaran  akan
adanya  Tuhan  yang Maha Hadir (Ompnipresent), dan yang mutlak
tidak pernah lengah sedikitpun dalam  pengawasan-Nya  terhadap
segala  tingkah laku hamba-hamba-Nya. Puasa adalah penghayatan
nyata akan makna firman bahwa "Dia (Allah)  itu  bersama  kamu
dimana pun kamu berada, dan Allah itu Maha Periksa akan segala
sesuatu yang kamu perbuat."  "Kepunyaan Allah-lah timur dan
barat;  maka  ke  mana  pun  kamu  menghadap, di sanalah Wajah
Allah."  "Sungguh Kami (Allah) telah menciptakan  manusia,
dan  Kami  mengetahui  apa  yang  dibisikkan oleh hatinya Kami
lebih dekat kepadanya daripada urat  lehernya  sendiri."  
"Ketahuilah   olehmu  sekalian  bahwa  Allah  menyekat  antara
seseorang dan hatinya sendiri..." 
 
Di atas telah dikutip penjelasan seorang pemikir klasik  Islam
(Salaf)  yang  hidup  sekitar  tujuh abad yang lalu, yaitu Ibn
Qayyim al-Jawzi (wafat pada tahun 751  H).  Penjelasan  serupa
juga  dikemukakan  oleh  'Ali  Ahmad al-Jurjawi, seorang tokoh
pemikir Islam di Zaman  Modern  dari  Mesir.  Dalam  uraiannya
tentang hikmah puasa, antara lain ia katakan:
 
    Puasa adalah sebagian dari sepenting-penting syar'i
    (manifestasi religiositas) dan seagung-agung qurbat
    (amalan mendekatkan diri kepada Tuhan). Bagaimana tidak,
    padahal puasa itu adalah rahasia antara seorang hamba
    dan Tuhannya, yang tidak termasuki oleh sikap pamrih.
    Seseorang (yang berpuasa) menahan dirinya dari
    syahwatnya dan kesenangannya sebulan penuh, yang dibalik
    itu ia tidak mengharapkan apa apa kecuali Wajah Allah
    Ta' ala. Tidak ada pengawas atas dirinya selain Dia.
    Maka hamba itu mengetahui bahwa Allah mengawasinya dalam
    kerahasiaan (privacy)-nya dan dalam keterbukaan -
    (publicity)-nya. Maka ia pun merasa malu kepada Tuhan
    Yang Maha Agung itu untuk melanggar
    larangan-larangan-Nya, dengan mengakui dosa, kezaliman,
    dan pelanggaran larangan (yang pernah ia lakukan). Ia
    merasa malu kepada Allah jika nampak oleh-Nya, bahwa ia
    mengenakan baju kecurangan, penipuan dan kebohongan.
    Karena itu ia tidak berpura-pura, tidak mencari muka,
    dan tidak pula bersikap mendua (munafik). Ia tidak
    menyembunyikan persaksian kebenaran karena takut
    kekuasaan seorang pemimpin atau pembesar.
 
Dari penjelasan itu tampak bahwa sesungguhnya inti  pendidikan
Ilahi  melalui  ibadah  puasa  ialah  penanaman dan pengukuhan
kesadaran   yang   sedalam-dalamnya    akan    ke-MahaHadir-an
(omnipresence)  Tuhan.  Adalah  kesadaran  ini  yang melandasi
ketaqwaan atau  merupakan  hakikat  ketaqwaan  itu,  dan  yang
membimbing  seseorang  ke  arah  tingkah  laku  yang  baik dan
terpuji. Dengan begitu dapat diharapkan ia akan tampil sebagai
seorang   yang  berbudi  pekerti  luhur,  ber-akhlaq  karimah.
Kesadaran  akan  hakikat  Allah  yang  Maha  Hadir   itu   dan
konsekuensinya  yang  diharapkan  dalam  tingkah laku manusia,
digambarkan dengan kuat sekali dalam Kitab Suci:
 
    "Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui segala
    sesuatu yang ada di seluruh langit dan segala sesuatu
    yang ada di bumi?! Sama sekali tidak ada suatu bisikan
    dari tiga orang, melainkan Dia adalah Yang Keempat; dan
    tidak dari empat orang, melainkan Dia adalah Yang
    Kelima; dan tidak dari lima orang, melainkan Dia adalah
    Yang Keenam; dan tidak lebih sedikit daripada itu
    ataupun lebih banyak, melainkan Dia beserta mereka di
    manapun mereka berada. Kemudian Dia akan membeberkan apa
    yang telah mereka perbuat itu di Hari Kiamat.
    Sesungguhnya Allah Maha Tahu akan segala sesuatu." [14]
 
Sekali lagi, dari keterangan di atas itu  tampak  bahwa  puasa
adalah   suatu   ibadat   yang   berdimensi  kerahasiaan  atau
keprivatan (privacy) yang amat  kuat.  Dari  situ  juga  dapat
ditarik  pengertian  bahwa puasa adalah yang pertama dan utama
merupakan  sarana   pendidikan   tanggungjawab   pribadi.   Ia
bertujuan  mendidik  agar kita mendalami keinsyafan akan Allah
yang selalu menyertai dan mengawal kita dalam setiap saat  dan
tempat.
 
Atas dasar keinsyafan itu hendaknya kita tidak menjalani hidup
ini dengan santai, enteng dan remeh,  melainkan  dengan  penuh
kesungguhan  dan  keprihatinan. Sebab apapun yang kita perbuat
akan  kita  pertanggungjawabkan  kepada  Khaliq  kita   secara
pribadi.    Tentang    betapa   dimensi   pribadi   (personal)
tanggungjawab kita dalam Pengadilan Tuhan di Hari Akhirat itu,
Kitab  Suci  al-Qur'an  memberi  gambaran  amat  kuat  sebagai
berikut:
 
    Wahai sekalian umat manusia! Bertaqwalah kamu sekalian
    kepada Tuhanmu, dan waspadalah terhadap hari ketika
    seorang orang tua tidak dapat menolong anaknya, dan
    tidak pula seorang anak dapat menolong orang tuanya
    sedikitpun jua. Sesungguhnya janji Allah itu benar
    (pasti terjadi), maka janganlah sampai kehidupan duniawi
    (kehidupan rendah) memperdayamu sekalian, dan jangan
    pula tentang (wajib patuh kepada) Allah itu kamu
    sekalian sampai terpedaya oleh apapun yang dapat
    memperdaya.
    
    Waspadalah kamu sekalian terhadap hari ketika tidak
    seorang pun dapat membantu orang lain, dan ketika
    perantaraan tidak dapat diterima, dan tidak pula tebusan
    bakal diambil, dan mereka semuanya tidak akan dibela.
  
 
Ini semuanya sudah tentu  sejajar  dengan  berbagai  penegasan
dalam  Islam  bahwa  manusia  dihargai  dalam  pandangan Allah
menurut amal perbuatannya berdasarkan taqwanya,  suatu  ajaran
tentang   orientasi  prestasi  yang  tegas,  dalam  pengertian
pandangan bahwa penghargaan kepada seseorang didasarkan kepada
apa   yang   dapat   diperbuat  dan  dicapai  oleh  seseorang.
Sebaliknya Islam melawan orientasi prestise,  yaitu  pandangan
yang    mendasarkan    penghargaan   kepada   seseorang   atas
pertimbangan segi-segi  askriptif  seperti  faktor  keturunan,
daerah,  warna  kulit,  bahasa  dll.  Orientasi seperti faktor
keturunan,  daerah,  warna  kulit,  bahasa,   dll.   Orientasi
prestasi  berdasarkan  kerja  ini  kemudian  dikukuhkan dengan
ajaran tentang tanggung jawab yang bersifat mutlak pribadi  di
Akhirat kelak.
 
PUASA DAN TANGGUNGJAWAB KEMASYARAKATAN
 
Sebegitu  jauh  kita telah mencoga melihat hikmah ibadah puasa
sebagai sarana pendidikan Ilahi untak menanamkan tanggungjawab
pribadi.  Tetapi justru pengertian "tanggungjawab" itu sendiri
mengisyaratkan  adanya  aspek  sosial  dalam  perwujudan  pada
kehidupan  nyata  di dunia ini. Dan sesungguhnya tanggungjawab
sosial adalah sisi lain dari mata uang logam yang  sama,  yang
sisi pertamanya ialah tanggungjawab pribadi. Ini berarti bahwa
dalam kenyataannya kedua jenis tanggungjawab  itu  tidak  bisa
dipisahkan,  sehingga  tiadanya  salah satu dari keduanya akan
mengakibatkan peniadaan yang lain.
 
Oleh karena itu para ulama senantiasa menekankan  bahwa  salah
satu  hikmah  ibadah  puasa  ialah  penanaman rasa solidaritas
sosial. Dengan mudah hal itu dibuktikan dalam kenyataan  bahwa
ibadah puasa selalu disertai dengan anjuran untuk berbuat baik
sebanyak-banyaknya,  terutama  perbuatan  baik  dalam   bentuk
tindakan  menolong  meringankan beban kaum fakir miskin, yaitu
zakat, sedekah, infaq, dll.
 
Dari sudut  pandangan  itulah  kita  harus  melihat  kewajiban
membayar  zakat fitrah pada bulan Ramadhan, terutama menjelang
akhir bulan suci itu.  Seperti  diketahui,  fithrah  merupakan
konsep  kesucian  asal  pribadi  manusia, yang memandang bahwa
setiap individu dilahirkan dalam keadaan suci  bersih.  Karena
itu  zakat  fitrah  merupakan  kewajiban  pribadi  berdasarkan
kesucian  asalnya,  namun  memiliki  konsekuensi  sosial  yang
sangat langsung dan jelas. Sebab, seperti halnya dengan setiap
zakat atau  "sedekah"  (shadagah,  secara  etimologis  berarti
"tindakan  kebenaran") pertama-tama dan terutama diperuntukkan
bagi golongan fakir-miskin  serta  mereka  yang  berada  dalam
kesulitan  hidup  seperti  al-riqab  (mereka yang terbelenggu,
yakni, para budak; dalam istilah modern dapat  berarti  mereka
yang terkungkung oleh "kemiskinan struktural") dan al-gharimun
(mereka yang terbeban berat hutang), serta ibn al-sabil (orang
yang  terlantar dalam perjalanan), demi usaha ikut meringankan
beban  hidup  mereka.  Sasaran  zakat  yang  lain  pun   masih
berkaitan dengan kriteria bahwa zakat adalah untuk kepentingan
umum atau sosial, seperti  sasaran  amil  atau  panitia  zakat
sendiri,  kaum  mu'allaf, dan sabil-Allah ("sabilillah", jalan
Allah),   kepentingan    masyarakat    dalam    artian    yang
seluas-luasnya.
 
Sebenarnya  dimensi  sosial  dari hikmah puasa ini sudah dapat
ditarik dan difahami dari tujuannya sendiri dalam Kitab  Suci,
yaitu  taqwa.  Dalam  memberi penjelasan tentang taqwa sebagai
tujuan puasa  itu,  Syeikh  Muhammad  'Abduh  menunjuk  adanya
kenyataan  bahwa orang-orang kafir penyembah berhala melakukan
puasa (menurut cara mereka masing-masing) dengan tujuan  utama
"membujuk" dewa-dewa agar jangan marah kepada mereka atau agar
senang kepada mereka dan "memihak" mereka dalam  urusan  hidup
mereka  di  dunia  ini.  Ini sejalan dengan kepercayaan mereka
bahwa dewa-dewa itu akan mudah dibujuk dengan jalan penyiksaan
diri sendiri dan tindakan mematikan hasrat jasmani.
 
Cara  pandang  kaum  musyrik  itu  merupakan konseknensi faham
mereka  tentang  Tuhan  sebagai  yang  harus  didekati  dengan
sesajen,   berupa   makanan  atau  lainnya  (termasuk  manusia
sendiri) yang "disajikan" kepada  Tuhan.  Altar  di  kuil-knil
bangsa  Inka  di  banyak  bagian  Amerika  Selatan, umpamanya,
menunjukkan adanya praktek  "ibadat"  mendekati  Tuhan  dengan
sesajen    berupa   korban   manusia.   Demikian   pula   pada
bangsa-bangsa  lain,  praktek  serupa  juga   tercatat   dalam
sejarah,   seperti  pada  bangsa-bangsa  Mesir  kuna,  Romawi,
Yunani, India, dll.
 
Hal  itu  tentu  berbeda  dengan  ajaran  agama  Tawhid   yang
mengajarkan  manusia  untuk tunduk-patuh dan pasrah sepenuhnya
(Islam kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam agama  ini  diajarkan
bahwa Tuhan tidaklah didekati dengan sesajen seperti pada kaum
pagan atau musyrik, melainkan dengan amal perbuatan yang baik,
yang membawa manfaat dan faedah kepada diri sendiri dan kepada
sesama  manusia  dalam  masyarakat:  "Maka  barangsiapa  ingin
berjumpa  dengan  Tuhannya,  hendaknyalah ia berbuat baik, dan
janganlah   dalam   berbakti   kepada    Tuhannya    itu    ia
memperserikatkan-Nya dengan seseorang siapapun juga." [17]
 
Berkaitan  dengan  ini,  Islam  memang mengenal ajaran tentang
ibadah korban. Tetapi, sesuai dengan nama ibadah  itu,  korban
(qurban)  adalah tindakan mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun
pendekatan itu terjadi bukan karena materi  korban  itu  dalam
arti  sebagai  sesajen,  melainkan karena taqwa yang ada dalam
jiwa pelakunya. Dan taqwa dalam ibadah  korban  itu  tercermin
dalam  kegunaan  nyata yang ada di belakangnya, yaitu tindakan
meringankan beban anggota masyarakat  yang  kurang  beruntung:
"Tidaklah  bakal  sampai  kepada  Allah daging korban itu, dan
tidak pula darahnya! Tetapi yang bakal sampai kepada-Nya ialah
taqwa dari kamu." 
 
Maka begitu pula dengan puasa. Yang mempunyai nilai pendekatan
kepada Allah bukanlah penderitaan  lapar  dan  dahaga  itu  an
sich,  melainkan  rasa taqwa yang tertanam melalui hidup penuh
prihatin  itu.  Dengan   perkatauan   lain,   Tuhan   tidaklah
memerlukan  puasa kita seperti keyakinan mereka yang memandang
Tuhan sebagai obyek sesajen atau sakramen. Puasa adalah  untuk
kebaikan  diri  kita sendiri baik sebagai individu dan sebagai
anggota masyarakat yang lebih luas.
 
Sekarang, seperti halnya iman yang tidak dapat dipisahkan dari
amal  saleh,  tali  hubungan  dengan  Allah  (habl min Allah -
"hablum minallah") yang tidak dapat dipisahkan  dari  hubungan
dengan  sesama  manusia  (habl min al-nas -"hablum minannas"),
taqwa pun tidak dapat dipisahkan dari budi pekerti luhur (husn
al-khuluq   atau   al-akhlaq  al  karimah).  Ini  antara  lain
ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadits: "Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam surga ialah taqwa kepada Allah dan
budi pekerti luhur." 
 
Ibadah puasa selama sebulan  itu  diakhiri  dengan  Hari  Raya
Lebaran  atau  Idul Fitri (Id-al-fithr, "Siklus Fitrah"), yang
menggambarkan tentang saat  kembalinya  fitrah  atau  kesucian
asal  manusia  setelah  hilang karena dosa selama setahun, dan
setelah pensucian diri dosa itu melalui puasa.  Dalam  praktek
yang  melembaga dan mapan sebagai adat kita semua, manifestasi
dari Lebaran itu ialah sikap-sikap  dan  perilaku  kemanusiaan
yang  setulus-tulusnya  dan setinggi-tingginya. Dimulai dengan
pembayaran zakat fitrah yang dibagikan  kepada  fakir  miskin,
diteruskan dengan bertemu sesama anggota umat dalam perjumpaan
besar pada shalat Id, kemudian  dikembangkan  dalam  kebiasaan
terpuji bersilaturahmi kepada sanak kerabat dan teman sejawat,
keseluruhan manifestasi Lebaran itu menggambarkan dengan jelas
aspek  sosial  dari  hasil ibadah puasa. Adalah bersyukur atas
nikmat-karunia yang merupakan hidayah Allah  kepada  kita  itu
maka  pada  hari  Lebaran kita dianjurkan untuk memperlihatkan
kebahagiaan dan kegembiraan kita. Petunjuk Nabi dalam berbagai
Hadits  mengarahkan  agar  pada hari Lebaran tidak seorang pun
tertinggal dalam bergembira dan berbahagia,  tanpa  berlebihan
dan melewati batas.
 
Karena  itu  zakat  fitrah  sebenarnya  lebih banyak merupakan
peringatan simbolik tentang kewajiban atas anggota  masyarakat
untuk  berbagi  kebahagiaan dengan kaum yang kurang beruntung,
yang terdiri dari para fakir  miskin.  Dari  segi  jumlah  dan
jenis  materialnya  sendiri,  zakat  fitrah  mungkin  tidaklah
begitu berarti. Tetapi, sama dengan ibadah korban  yang  telah
disinggung  di atas, yang lebih asasi dalam zakat fitrah ialah
maknanya  sebagai  lambang   solidaritas   sosial   dan   rasa
perikemanusiaan.  Dengan  perkataan  lain, zakat fitrah adalah
lambang  tanggung-jawab  kemasyarakatan  kita  yang  merupakan
salah  satu  hasil  pendidikan  ibadah  puasa,  dan  yang kita
menifestasikan secara spontan.
 
Tetapi, sebagai simbol dan lambang, zakat fitrah harus  diberi
substansi  lebih  lanjut  dan  lebih besar dalam seluruh aspek
hidup kita sepanjang tahun, berupa komitmen batin serta  usaha
mewujudkan  masyarakat  yang  sebaik-baiknya,  yang berintikan
nilai Keadilan Sosial. Inilah antara lain makna  firman  Allah
berkenaan dengan Hari Raya Lebaran:
 
    Hendaknya kamu sekalian sempurnakan hitungan (hari
    berpuasa sebulan) itu, dan hendaknya pula kamu bertakbir
    mengagungkan Allah atas karunia hidayah dan diberikan
    oleh-Nya kepadamu sekalian, dan agar supaya kamu
    sekalian bersyukur.
 
"Min-al-'Aidin wa-'l-Fa'izin"  (semoga  kita  semua  tergolong
mereka  yang  kembali  ke fitrah kita --dan yang menang-- atas
nafsu-egoisme kita).
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar