Sabtu, 25 Desember 2010

Sejarah Kota Indralaya

Kondisi Alam PDF Print E-mail


Image
Menurut letak georgrafisnya, kabupaten Ogan Ilir berada di antara 3o 02’  lintang selatan sampai 3o 48’ lintang selatan, dan 104o 20’ bujur timur sampai 104o 48’ bujur timur. Bentangan wilayah kabupaten ini meliputi kawasan seluas 2.666.07 km2 atau seluas 266.607 hektar.
Tanah di daerah ini sebagian besar adalah jenis tanah alluvial dan tanah podsolik, dengan perincian tanah alluvial terdapat di daerah aliran sungai (DAS) Ogan yang tersebar pada seluruh kecamatan, dengan warna tanah kelabu atau kecokelatan. Keadaan tanah berpasir, liat, dan lembab, dan menjadi keras pada musim kering. Alluvial hidromorf endapan liat terdapat di Pemulutan, Tanjung Batu, Tanjung Raja, dan Indralaya; alluvial kelabu muda terdapat di Muara Kuang; asosiasi grey humus dan organosol terdapat di Tanjung Raja dan Indralaya; hidromorf kelabu terdapat di Muara Kuang dan Tanjung Raja; podsolik coklat kekuningan / podsolik merah kuning/PMK dengan hidromorf kelabu (Muara Kuang, Indralaya dan Pemulutan). Tanah alluvial mengandung susunan humus kaya bahan organik yang berasal dari endapan limpasan air sungai. Tingkat keasaman tanah berkisar antara pH 4.0 sampai pH 6.5.
Sebagaimana halnya dengan kawasan di sekitar sabuk katulistiwa pada umumnya, Ogan Ilir memiliki iklim tropis, khususnya iklim tropis basah (tipe B). Menurut catatan pihak Bappeda, musim kemarau di kabupaten ini berkisar antara bulan Mei sampai dengan bulan Oktober, sedangkan musim hujan berkisar antara bulan Mei sampai bulan Oktober.
Curah hujan rata-rata per-tahun 1.096, sedangkan rata-rata hari-hari hujan adalah 66 hari per-tahun. Suhu udara harian berkisar antara 23o Celcius sampai 32 o Celcius, dengan kelembaban udara berkisar antara 69% sampai 98%. 
Kawasan pada bagian utara kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan dataran rendah berawa yang terbentang meliputi kecamatan Pemulutan sampai kecamatan Indralaya. Bentangan ini meliputi kawasan pedesaan, sungai dan lebak-lebak.
Sementara itu, Kecamatan Tanjung Batu dan Muara Kuang menempati posisi pada dataran yang relatif lebih tinggi, dengan tofografi tertinggi 10 meter di atas permukaan air laut. Rawa-rawa lebak yang luas tersebar di hampir di seluruh kecamatan, kecuali di Kecamatan Tanjung Batu yang memiliki rawa relatif sempit.
Secara tekstur permukaan bumi di wilayah Ogan Ilir memiliki variasi dari yang paling rendah sampai ke tempat tertinggi, masyarakat setempat menyebutnya dengan berbagai istilah khas. Untuk tempat yang paling rendah disebut dengan lubuk. Lubuk ialah bagian paling rendah yang biasanya berada di dalam sungai, kemudian batanghari (sungai) dan risan (anak sungai). Selanjutnya, secara berturut-turut, ke tempat yang lebih tinggi ialah pantai  yaitu tempat yang kering di tepian sungai(sebelumnya tempat ini merupakan badan sungai, tetapi karena peristiwa alam, menjadi kering). Apabila berada di kelok sungai bagian ini terkadang disebut juga dengan tanah nyurung, lalu wilayah lebak yaitu areal luas yang biasanya dijadikan tempat persawahan (bagian rendah disebut dengan lembah dan bagian tinggi disebut dengan pematang), rawang, rantau, dan talang.
Masyarakat memanfaatkan bentangan wilayah yang bervariasi ini untuk berbagai keperluan. Mereka membuat perkampungan sebagai tempat tinggal, juga membuat perkebunan, lahan pertanian, tempat bagi aktifitas sosial budaya, pasar dan kegiatan perekonomian lainnya. Flora, fauna, dan potensi alam dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Penduduk PDF Print E-mail


Image
Wilayah Kabupaten Ogan Ilir saat ini adalah merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang mengacu pada wilayah bekas kawedanaan Ogan Ilir. Masyarakat asli yang menetap di Ogan Ilir dikategorikan ke dalam suku Pegagan,  Penesak, Ogan, dan lain-lain yang pada umumnya dikategorikan pada Melayu Palembang.
Bila ditelusuri asal-usulnya, sebagaimana diperoleh dari berbagai catatan yang ada, di antara suku-suku ini ada yang berasal dari Jawa Barat, dan Sunda Kelapa (Jakarta).  Mereka, sejak masa lalu hidup  bersamasecara teratur  dalam lembaga tradisional yang disebut dengan marga. Saat ini penduduknya berjumlah … jiwa yang tersebar di 16 kecamatan. Selain suku yang disebutkan, saat ini penduduk di Ogan Ilir  sangat majemuk dan berasal dari hampir seluruh suku yang ada di nusantara.
Mata pencaharian penduduk, pada umumnya adalah pada bidang pertanian (sekaligus perikanan) dan perkebunan, di samping juga memanfaatkan peluang usaha lain seperti home industri, jasa, dan lain-lain. Pertanian dan perikanan adlah mata pencaharian yang telah digeluti penduduk pedesaan Ogan Ilir pada umumnya sejak pertama kali mereka menetap di tempat ini. Pilihan terhadap wilayah ini, didasarkan pada pertimbangan utama bahwa wilayah ini merupakan tempat yang baik untuk bercocok tanam dan sekaligus juga tempat berkarang (mencari) ikan. Wilayah lebak, sebagai daerah pertanian pasang surut, yang  diselingi oleh kawasan talang yang selalu kering, sejak masa lalu  adalah tempat yang cukup ideal untuk pertanian dan perkebunan.
Di lebak, siklus pasang surut (istilah setempat menyebutnya masa air dalam dan masa kering), pada umumnya dimanfaatkan untuk kegiatan dua mata pencaharian secara bergantian yaitu bertani dan mencari ikan. Ketika air dalam, lebak dan sungai-sungai berisi aneka jenis dan ukuran ikan. Pada masa ini masyarakat memanfaatkan keterampilan mereka sebagai nelayan tradisional. Berbagai perlengkapan dipergunakan untuk menangkap ikan, kecuali tuba (racun ikan).
Penggunaan tuba sejak dahulu termasuk cara yang dilarang dalam Simbur Cahaya.   Selanjutnya,  ketika debit air  berkurang dan berangsur-angsur surut, penduduk mulai mempersiapkan lahan lebak tempat mencari ikan itu untuk kegiatan pertanian. Dua kegiatan ini berlangsung seolah sambung-menyambung tiada terputus. Dengan kondisi itu, tidak sedikit penduduk yang memilih membangun tempat tinggal di kawasan lebak itu juga. Tempat tinggal di lebak, dengan bangunannya yang khas disebut  pondok atau sudung terkadang menampilkan pemandangan yang unik.
Kawasan lebak, selain menjanjikan nilai ekonomi juga menyajikan bentangan panorama yang indah dan artistik. Pada musim hujan dan air dalam, lebak berisi banyak ikan besar kecil yang berkejaran di antara tumbuhan-tumbuhan yang indah seperti teratai, telipuk (water lilies), dan tumbuhan lain. Ketika air mulai surut, di lebak ditanami padi mulai dari bagian yang paling tinggi yaitu pematang selanjutnya pada bagian yang lebih rendah. Warna hijau padi dan aromanya yang segar terbawa angin, menampilkan keunikan dan kesan tersendiri. Di lebak banyak panorama visual yang artistik, bahkan terkadang mistis. Permukaan yang kemilau ditimpa sinar matahari di panas terik. Pada malam hari, ada silhuet gerombolan semak tepi lebak yang  ditimpa sinar rembulan yang tersaring oleh dedaunan. Semak seperti itu sering menyimpan sekawanan serangga yang siap menghambur terbang bila dilempar.


KESATUAN WILAYAH OI PDF Print E-mail

Article Index
KESATUAN WILAYAH OI
Page 2
Page 3
Page 4
Page 5
Page 6
Page 7
Page 8
Nama Ogan Ilir sebagai identifikasi bagi suatu kesatuan wilayah dipergunakan sejak masa sebelum kemerdekaan. Paling tidak, pada abad ke-19 pada masa kolonial Belanda, identifikasi ini telah diterapkan dalam pengertian teritorial dan administratif. Dalam Regeering Almanak yang diterbitkan Belanda pada tahun 1870, Ogan Ilir  dan Belida merupakan zona ekonomi afdeeling yang langsung berada di bawah Karesidenan Palembang. Pada waktu itu, dalam karesidenan Palembang terdapat sembilan afdeeling.  Kesembilan afdeeling itu ialah:
1.    Palembang
2.    Tebingtinggi
3.    Lematang Ulu dan Lematang Ilir
4.    Komering Ulu, Ogan Ulu dan Enim
5.    Rawas
6.    Musi Ilir
7.    Ogan Ilir dan Belida
8.    Komering Ilir
9.    Iliran dan Banyuasin
Pembagian afdeeling ini mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1872 terjadi peristiwa regroupping dari sembilan menjadi tujuh afdeeling, tahun 1878 menjadi enam afdeeling, dan dengan Staatblad  1918 no. 612, menjadi empat afdeeling yaitu Hofdspaats Palembang dan Sekitarnya, Palembangsche Boevenlanden, Komering Ulu dan Ogan Ulu, dan Palembangsche Benedenlanden. Selanjutnya, setelah Staatblad 1921 no. 465, dan Staatblad 1930 no. 352, karesidenan ini ditetapkan menjadi tiga afdeeling saja,  yaitu Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Palembang Hilir) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palembang, Afdeeling Palembangsche Boevenlanden (Palembang Hulu) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Lahat, dan Afdeeling Ogan dan Komering Ulu di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Baturaja.
Pada pembagian wilayah yang terakhir itu, Ogan Ilir mendapatkan status tidak lagi sebagai afdeeling, tetapi sebagai onder-afdeeling yang berada di bawah Afdeeling Palembangsche Benedenlanden.  Pada waktu itu, di Ogan Ilir terdapat 19 marga, yaitu:
1.    Pegagan Ilir Suku 1
2.    Rantau Alai
3.    Pegagan Ulu Suku 2
3.    Pegagan Ilir Suku 2
4.    Pemulutan
5.    Sakatiga
6.    Meranjat
7.    Burai
8.    Tanjungbatu
9.    Gelumbang
10.   Parit
11.   Alai
12.   Lembak
13.   Kertamulia
14.   Tambangan Kelekar
15.   Muarakuang
16.   Parit
17    Lubai Suku 1
18.   Rambang Empat Suku
19.   Lubuk Keliat
Ibukota masing-masing marga itu, pada umumnya berada di tepian sungai. Sebagaimana layaknya ibukota marga, pada tepian sungai itu selalu ada bangunan berupa tangga raja ataupun gerogol sebagai tempat untuk turun ke tempat mandi.
 Pembagian afdeeling ini mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1872 terjadi peristiwa regroupping dari sembilan menjadi tujuh afdeeling, tahun 1878 menjadi enam afdeeling, dan dengan Staatblad  1918 no. 612, menjadi empat afdeeling yaitu Hofdspaats Palembang dan Sekitarnya, Palembangsche Boevenlanden, Komering Ulu dan Ogan Ulu, dan Palembangsche Benedenlanden. Selanjutnya, setelah Staatblad 1921 no. 465, dan Staatblad 1930 no. 352, karesidenan ini ditetapkan menjadi tiga afdeeling saja,  yaitu Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Palembang Hilir) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palembang, Afdeeling Palembangsche Boevenlanden (Palembang Hulu) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Lahat, dan Afdeeling Ogan dan Komering Ulu di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Baturaja.
Pada pembagian wilayah yang terakhir itu, Ogan Ilir mendapatkan status tidak lagi sebagai afdeeling, tetapi sebagai onder-afdeeling yang berada di bawah Afdeeling Palembangsche Benedenlanden.  Pada waktu itu, di Ogan Ilir terdapat 19 marga, yaitu:
1.    Pegagan Ilir Suku 1
2.    Rantau Alai
3.    Pegagan Ulu Suku 2
3.    Pegagan Ilir Suku 2
4.    Pemulutan
5.    Sakatiga
6.    Meranjat
7.    Burai
8.    Tanjungbatu
9.    Gelumbang
10.    Parit
11.    Alai
12.    Lembak
13.    Kertamulia
14.    Tambangan Kelekar
15.    Muarakuang
16.    Parit
17    Lubai Suku 1
18.    Rambang Empat Suku
19.    Lubuk Keliat
Ibukota masing-masing marga itu, pada umumnya berada di tepian sungai. Sebagaimana layaknya ibukota marga, pada tepian sungai itu selalu ada bangunan berupa tangga raja ataupun gerogol sebagai tempat untuk turun ke tempat mandi. Pembagian afdeeling ini mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1872 terjadi peristiwa regroupping dari sembilan menjadi tujuh afdeeling, tahun 1878 menjadi enam afdeeling, dan dengan Staatblad  1918 no. 612, menjadi empat afdeeling yaitu Hofdspaats Palembang dan Sekitarnya, Palembangsche Boevenlanden, Komering Ulu dan Ogan Ulu, dan Palembangsche Benedenlanden. Selanjutnya, setelah Staatblad 1921 no. 465, dan Staatblad 1930 no. 352, karesidenan ini ditetapkan menjadi tiga afdeeling saja,  yaitu Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Palembang Hilir) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palembang, Afdeeling Palembangsche Boevenlanden (Palembang Hulu) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Lahat, dan Afdeeling Ogan dan Komering Ulu di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Baturaja.
Pada pembagian wilayah yang terakhir itu, Ogan Ilir mendapatkan status tidak lagi sebagai afdeeling, tetapi sebagai onder-afdeeling yang berada di bawah Afdeeling Palembangsche Benedenlanden.  Pada waktu itu, di Ogan Ilir terdapat 19 marga, yaitu:
1.    Pegagan Ilir Suku 1
2.    Rantau Alai
3.    Pegagan Ulu Suku 2
3.    Pegagan Ilir Suku 2
4.    Pemulutan
5.    Sakatiga
6.    Meranjat
7.    Burai
8.    Tanjungbatu
9.    Gelumbang
10.    Parit
11.    Alai
12.    Lembak
13.    Kertamulia
14.    Tambangan Kelekar
15.    Muarakuang
16.    Parit
17    Lubai Suku 1
18.    Rambang Empat Suku
19.    Lubuk Keliat
Ibukota masing-masing marga itu, pada umumnya berada di tepian sungai. Sebagaimana layaknya ibukota marga, pada tepian sungai itu selalu ada bangunan berupa tangga raja ataupun gerogol sebagai tempat untuk turun ke tempat mandi.

Pembagian afdeeling ini mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1872 terjadi peristiwa regroupping dari sembilan menjadi tujuh afdeeling, tahun 1878 menjadi enam afdeeling, dan dengan Staatblad  1918 no. 612, menjadi empat afdeeling yaitu Hofdspaats Palembang dan Sekitarnya, Palembangsche Boevenlanden, Komering Ulu dan Ogan Ulu, dan Palembangsche Benedenlanden. Selanjutnya, setelah Staatblad 1921 no. 465, dan Staatblad 1930 no. 352, karesidenan ini ditetapkan menjadi tiga afdeeling saja,  yaitu Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Palembang Hilir) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palembang, Afdeeling Palembangsche Boevenlanden (Palembang Hulu) di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Lahat, dan Afdeeling Ogan dan Komering Ulu di bawah seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Baturaja.
Pada pembagian wilayah yang terakhir itu, Ogan Ilir mendapatkan status tidak lagi sebagai afdeeling, tetapi sebagai onder-afdeeling yang berada di bawah Afdeeling Palembangsche Benedenlanden.  Pada waktu itu, di Ogan Ilir terdapat 19 marga, yaitu:
1.    Pegagan Ilir Suku 1
2.    Rantau Alai
3.    Pegagan Ulu Suku 2
3.    Pegagan Ilir Suku 2
4.    Pemulutan
5.    Sakatiga
6.    Meranjat
7.    Burai
8.    Tanjungbatu
9.    Gelumbang
10.    Parit
11.    Alai
12.    Lembak
13.    Kertamulia
14.    Tambangan Kelekar
15.    Muarakuang
16.    Parit
17    Lubai Suku 1
18.    Rambang Empat Suku
19.    Lubuk Keliat
Ibukota masing-masing marga itu, pada umumnya berada di tepian sungai. Sebagaimana layaknya ibukota marga, pada tepian sungai itu selalu ada bangunan berupa tangga raja ataupun gerogol sebagai tempat untuk turun ke tempat mandi.

Sungai terbesar di Ogan Ilir  adalah sungai Ogan. Setelah melintasi wilayah Ogan Ulu, air sungai ini terus mengalir di Ogan Ilir mulai dari Kuang Dalam marga Muara Kuang,  melalui marga Lubuk Keliat, Rantau Alai, Pegagan Ulu Suku Dua, Pegagan Ilir Suku Dua, Pegagan Ilir Suku Satu, Sakatiga, dan berakhir di Marga Pemulutan yang berbatasan langsung dengan kota Palembang. Muara sungai ini dikenal pula dengan sebutan Muara Ogan, berada di tempat yang sekarang dikenal sebagai wilayah Kertapati.
Sementara itu, sungai kecil jumlahnya sangat banyak, antara lain sungai Rambang yang mengalir dalam marga Rambang, dan bermuara di Lubuk Keliat, juga Sungai Kuang bermuara di Muara Kuang, sungai Sigondang yang mengalir dalam marga Pegagan Ulu Suku Dua, sungai Kelekar yang mengalir dalam marga Burai dan marga Sakatiga. Sungai Keramasan, mengalir dalam marga Lembak dan marga Parit, dan sungai Terusan Bujang yang mengalir dalam marga Pegagan Ilir Suku Dua, Pegagan Ilir Suku Satu, dan kembali bertemu dengan sungai Ogan di dalam marga Pemulutan. 
Ibukota Onder-afdeeling Ogan Ilir bertempat di Tanjung Raja, suatu tempat di tepi sungai Ogan. Pada tahun 1939 onder-afdeeling Ogan Ilir berada dibawah kontrolir AV Peggemeier yang memulai tugasnya pada bulan Januari 1939, berkantor di Tanjung Raja. Dalam melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh JJ de Wilde yang bertindak selaku Adspirant Controleur yang telah memulai tugasnya di Ogan Ilir setahun sebelum itu, tepatnya pada tanggal 5 Februari 1938. Di ibukota onder-afdeeling Ogan Ilir diselenggarakan pula Veld-Politie yang dipegang oleh Inspektur Polisi AM van der Els.
Tokoh ini telah memulai tugasnya di onder-afdeeling Ogan Ilir pada tanggal 12 September 1938. Van der Els memegang jabatannya selama tiga tahun, sampai pada tanggal 3 Februari tahun 1940 ketika posisinya ditempati oleh penggantinya Inspektur Polisi RH de Fretes.
Sesuai dengan kebijakan umum yang diterapkan kolonial Belanda, para pejabat ini menggunakan berbagai cara berusaha melakukan pendekatan terhadap masyarakat setempat, terutama untuk kepentingan eksploitasi ekonomi, ketertiban administrasi, dan keamanan kekuasaannya. Dilakukanlah pengaturan kembali sistem pajak dan kerja-paksa yang telah dibuat pihak kasultanan sebelumnya, di samping dilakukan pula penataan administrasi marga, penyeleng-garaan kas marga, grouping dan pemekaran marga, pembentukan dewan marga, pengaturan dan peruntukan dan pembagian hasil hutan.

Pihak kolonial menerapkan pula pernyataan hak atas tanah (domein verklaaring), sambil menerapkan kontrol atas kegiatan rakyat. Sebagaimana terungkap dari catatan yang dimiliki penduduk dusun Tanjung Pinang (dahulu Dusun Pondok), melalui Hofd van Plaatselijk Bestuur (Kepala Pemerintah Negeri) di Tanjung Raja, Belanda telah menerbitkan beberapa hak . Hal ini tentu terkait dengan eksploitasi nilai ekonomis dari lahan yang bersangkutan. Hasil pertanian dan terutama perkebunan memang merupakan komoditas yang lebih diperlukan oleh kolonial Belanda dalam konteks perda-gangan internasional pada masanya. Motif ekonomis itu sangat kentara, manakala melihat pasal nomor (3) dan (4), pada surat izin berkebun sebagaimana diberikan kepada Sahak bin H. Matnoer dari marga Meranjat yang dibuat  di Tanjung Raja tanggal 10 Juni 1939, yang menyebutkan:
3. het te beplanten terrein moet voor den 1-sten Januari 1940 zijn beplant met minstens 250 boomen ; wordt hieraan niet voldaan, dan wordt de vergunning voor vervallen gehouden. (tanah yang akan ditanami itu harus sebelum tanggal 1 Januari 1940 sudah ditanami dengan sekurang-kurangnya 250 pohon; jika hal ini tidak dilakukan maka izin ini dianggap gugur) 
4. door het aannemen van deze vergunning verbindt de vergunninghouder zich, om in geval de vergunning ingevolge het niet voldoen aan de voorwaarde sub 3 vervalt, zegging van het bestuur terooien, dan wel goe te laten dat die boomen wordan gerooid. (dengan menerima surat izin ini, maka orang yang memegangnya berjanji, bahwa surat izin ini batal atau gugur disebabkan tidak memenuhi perjanjian pada pasal 3 di atas, ia atas perintah yangpertama akan meroboh pohon-pohon yang sudah ditanam atau mengizinkan pohon-pohon itu diroboh)
Di samping motif ekonomis, terutama untuk masyarakat Pondok, cara ini sekaligus merupakan langkah strategis untuk mengurangi risiko keamanan. Masyarakat di sekitar tempat ini sebagian besar memiliki keterampilan dan bekarja selaku pandai besi  yang  membuat berbagai senjata tajam untuk berbagai keperluan. Pihak kolonial memberikan kepada mereka surat pengakuan hak atas tanah yang cukup luas disertai ‘pengarahan’  agar masyarakat di tempat itu melakukan alih profesi menjadi petani atau berkebun dan  tidak lagi menjadi pandai besi. Pemberian surat hak yang disertaipengarahan ini tentu merupakan strategi pihak kolonial mengurangi ancaman perlawanan bersenjata.

Sejalan dengan penertiban administrasi, dilakukan penetapan yang lebih terperinci tapal-wilayah. Pada tahun 1937 dibentuk komisi khusus yang bertugas memertegas batas wilayah antara Onder-afdeeling Ogan Ilir dengan kota Palembang. Dalam komisi ini, dari pihak Onder-afdeeling Ogan Ilir diwakili oleh DG Hoeier selaku kontrolir, Abdul Hamid sebagai Demang di Distrik Ogan Ilir, Depati Abdul Hamid gelar Depati Wirakesuma yang bertindak selaku pasirah marga Pemulutan. Sementara itu dari pihak kota Palembang diwakili oleh G. van Brekel sebagai kontrolir, Hasri sebagai Demang Distrik Palembang Ulu, Raden Mattjik sebagai Demang Palembang Ulu, Mahmudin sebagai kepala kampung Pulukerta Distrik Palembang Ulu dan Kodir selaku kepala Kampung 15 Ulu Distrik Palembang Ulu.
Adapun batas-batas Palembang dengan Ogan Ilir, sesuai dengan ketetapan komisi ini ialah:
Dari Muara Air Itam di dalam sungai Musi, menyeberang sungai Musi sampai di muara Air Teras milir Musi menurut pantai sebelah kanan sampai di muara sungai Meriak .
Dari muara sungai Meriak tarik lurus sampai di muara sungai Waru dalam air Keramasan. Dari muara sungai Waru garis lurus sampai di muara sungai Bengkuang dalam sungai Ogan.
Maka sebelah kanan yang tersebut tanah Onder-afdeeling Ogan Ilir dan sebelah kiri tanah Onder-afdeeling Kota Palembang. Dengan perjanjian apa-apa pihak yang lama kepunyaan orang dari Onder-afdeeling Ogan Ilir yang termasuk dalam batas Kota Palembang masih tetap hak yang punya seperti sebelum dibikin batas  ini.
Bagaimanapun, kolonial Belanda adalah panjajah. Pengaturan wilayah dan penduduk pada dasarnya dilakukan untuk kepentingan eksploitasi hasil bumi dan mobilisasi tenaga kerja yang murah. Dalam menghadapi wilayah jajahannya, ia semata-mata menerapkan prinsip wijn gewest (wilayah komersial). Akan tetapi lantaran didesak oleh berbagai pihak di forum internasional maupun di dalam negeri sendiri, Kerajaan Belandamelaksanakan pula kebijakanbalas budi yang dirangkum dalam kebijakan etisch politiek sebagai hutang budi (eere-schuld) yang dikembangkan dalam bentuk trilogi transmigrasi, pendidikan, dan irigasi. Disebut sebagai hutang budi, karena selama ini kolonial telah mengeksploitasi manusia dan alam pribumi.
Melalui kebijakan ini, dilakukan usaha pengembangan kehidupan masyarakat pengelolaan wilayah termasuk mendirikan fasilitas pendidikan di tanah jahahan. Tujuan  formalnya ialah untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat  dan kemakmuran wilayah di tanah jajahan yang selama ini telah dieksploitas. Tetapi kenyataannya usaha ini tetap diselenggarakan dalam konteks kepentingan kolonial itu. Transmigrasi dilakukan dalam konteks pemenuhan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh pabrik atau jenis pekerjaan lain, irigasi diselenggarakan dalam konteks mendukung kepentingan perkebunan kolonial, dan dunia pendidikan, ditempatkan  sebagai sebagai bagian dari stelsel kebutuhan pemerintah kolonial akan tenaga administrasi yang lebih profesional.

Di Ogan Ilir ada tiga sekolah yang didirikan oleh Belanda pada awal abad ke-20 yaitu Hollandsce Inlandsche School (HIS). Sekolah ini merupakan sekolah dasar bagi bumi putera. Selain dibangun di ibukota onder-afdeeling di Tanjung Raja, juga dibangun di Tanjung Sejaro ibukota marga Pegagan Ilir Suku Satu, dan di Muara Kuang, ibukota marga Muara Kuang. Tidak sembarang orang dapat memasuki sekolah HIS, karena persyaratan penerimaan siswa sangat selektif.
Biasanya yang bersekolah di tempat ini adalah mereka yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan tokoh setempat seperti pasirah, mantan pasirah, atau mereka yang memiliki hubungan khusus dengan Belanda.
Secara resmi, bahasa pengantar yang dipergunakan di sekolah itu adalah bahasa Belanda. Guru-guru yang mengajar memang mereka yang pernah mendapatkan pendidikan dari Belanda. Menurut catatan yang berhasil dikumpulkan, mereka yang pernah mengajar di HIS Tanjung Raja antara lain Abdul Haris Nasution (yang setelah kemerdekaan marupakan tokoh penting tentara), Ahmad Saibi, Hamzah, Hajar, Mulkan Idin, dan Abas . Mereka yang mengajar di HIS Tanjung Sejaro antara lain Abdul Karim dan Ibrahim Nasution. Tokoh yang disebutkan terakhir ini adalah saudara sepupu Abdul Haris Nasution. Sementara itu, catatan tentang para guru yang mengajar di HIS di Muara Kuang sampai saat ini belum diperoleh.
Pada hari Sabtu tanggal 14 Februari tahun  1942  Jepang masuk, dan Belanda meninggalkan Ogan Ilir. Mula-mula Jepang memproklamirkan diri sebagai dulur tue (saudara tua) karena sama-sama berkebangsaan Asia. Tetapi lama kelamaan semakin menunjukkan keaslian iktikadnya sebagai penjajah dengan menguasai dan melakukan kreasi terhadap sistem pemerintahan sesuai dengan kepentingannya. Pada masa Jepang, Karesidenan disebut dengan Syu,  sementara itu tiga afdeeling yang ada dilingkungan Palembang dihapuskan, tetapi onder-afdeeling tetap dipertahankan keberadaannya.
Lembaga onder-afdeeling disebut dengan bunsyu. Onder-afdeeling Ogan Ilir disebut dengan Bunsyu Ogan Simo. Pada masa Jepang ini sembilan Belas marga Ogan Ilir berkurang enam marga yaitu marga Gelumbang,  Alai, Satu. Keenam marga tersebut oleh pemerintah pendudukan Jepang dimasukkan ke dalam wilayah Ogan Naka atau Ogan Tengah.
Dengan pengurangan itu, marga yang tertinggal adalahmarga Pegagan Ilir Suku Satu, Rantau Alai, Pegagan Ulu Suku Dua, Pegagan Ilir Suku Dua, Pemulutan, Sakatiga, Meranjat, Burai,  Tanjungbatu, Muarakuang, Parit, Rambang Empat Suku, dan marga Lubuk Keliat. Pada masa awal kemerdekaan, marga-marga ini berada dalam kawedanaan Ogan Ilir.
SK Gubernur Sumatera Selatan No. Gb/3/29/10/22 yang menetapkan daerah Propinsi Sumatera Selatan dibagi kepada beberapa daerah kabupaten, dan sebagai realisasinya bekas Karesidenan Palembang/Karesidenan Bangka-Belitung dibagi menjadi enam daerah Kabupaten yaitu  Kabupaten Palembang Selatan dengan ibukota Sekayu/Betung, Palembang Barat ibukotanya Lahat, Kabupaten Bangka ibukotanya Pangkal Pinang, Belitung ibukotanya Tanjung Pandan. Dengan ini, hapuslah daerah kekuasaan karesidenan di mana jabatan Residen diperbantukan kepada kantor Gubernur dengan segala kewenangan Residen dilimpahkan kepada Gubernur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948.

Daerah pedesaan di Sumatera Selatan (termasuk di lingkungan Ogan Ilir) dan di dalam kota Palembang, dengan memperhatikan struktur organisasi pemerintahannya, sampai pada masa itu tidak pernah mengenal daerah kekuasaan kabupaten seperti terdapat di Jawa. Masyarakat di daerah uluan (luar kota Palembang) hanya mengenal kekuasaan Wedana, Marga/Haminte, dan Dusun.  Di dalam kota Palembang terdapat tiga kawedanaan yaitu Ilir Barat, Ilir Timur, dan Seberang Ulu yang dibantu oleh beberapa Sirah Kampung. Sampai pada masa itu, struktur pemerintahan dapat digambarkan sebagai berikut.
 Image
 Sepanjang masa kemerdekaan  marga-marga ini tetap ada, sampai pembubarannya pada tahun 1983, menjelang 40 tahun kemerdekaan RI. Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan berupa penggabungan maupun pemekaran terhadap marga-marga itu. Ada pula beberapa marga yang pada masa pendudukan Jepang dimasukkannya ke dalam wilayah lain, dan selanjutnya tetap berada di luar Ogan Ilir pada masa kemerdekaan. Pada waktu pembubaran marga (bersama marga-marga lain di seluruh Sumatera Selatan tahun 1983),  di Ogan Ilir terdapat 14 marga. Marga yang 14 itu seluruh marga yang tercatat pada masa Jepang di atas, ditambah dengan satu marga hasil pemekaran, yaitu Marga Pegagan Ilir Suku Tiga. Marga yang beribukota di Muara Penimbung ini merupakan pemekaran dari marga Pegagan Ilir Suku Satu, pada tahun 1973.
Marga yang telah berusia ratusan tahun itu, dihapuskan melaui Surat Keputusan Gubernur Sumatera Selatan No. 142/SKPTS/III/1983 tanggal 24 Maret 1983 tentang Penghapusan Pemerintahan Marga, DPR Marga dan Perangkat Marga lainnya, Pemberhentian Pasirah Kepala Marga, Ketua/Anggota DPR Marga dan Pejabat Pamong Marga lainnya, serta menunjuk Pejabat Kepala Desa dalam Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Selatan (ditandatangani oleh Haji Sainan Sagiman selaku Gubernur, dan Drs. H.M. Arma, selaku Sekretaris Wilayah Daerah). Menurut daftar yang terdapat dalam lampiran keputusan itu, para pasirah terakhir ialahA Kadir Idin (PIS  2), Benawi HJ (PUS  2), HM Bakri (Rantau Alai), M. Faisal Abdullah (Muara Kuang), Syehan Akwan (Lubuk Keliat), A. Revai Yusuf (Rambang 4 Suku), Mansyur Washad (Tanjung Batu),
A. Kirom Hasan (Meranjat), Rawatauhidin Hs. (Burai), Romli RA (Parit), Matnang Dahlan (Sakatiga), Zainal Abidin (PIS 3), dan Burmawi (PIS 1). Pasirah marga Pemulutan terakhir tidak tercatat dalam lampiran itu, tetapi menurut sumber lain, pasirah terakhir marga ini ialah M. Akip S. Meskipun telah dibubarkan, dusun-dusun yang berada dalam lingkungan marga itu sampai saat ini masih tetap utuh. 

TRADISI PEMERINTAHAN PDF Print E-mail

Istilah marga di Sumatera Selatan hanya dikenal pada kawasan pedesaan atau uluan di luar kota Palembang, termasuk Ogan Ilir. Sementara itu, di dalam kota Palembang dikenal dengan istilah Kampung yang dipimpin oleh seorang Sirah Kampung. Marga adalah suatu kesatuan organis terbentuk berdasar wilayah, dan juga keturunan, yang kemudian dikukuhkan dengan kendali administratif serta ikatan norma-norma yang tidak hanya berupa adat-istiadat tidak tertulis tetapi juga oleh ikatan berupa aturan dalam diktum-diktum yang tertulis secara terperinci pada kitab undang-undang Simbur Cahaya.
Marga secara fungsional memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan sejarah peradaban masyarakat di Sumatera Selatan. Secara tradisional, marga merupakan institusi tertinggi kemasyarakatan setelah lembaga keluarga, kampung dan dusun. Marga dipimpin oleh seorang tokoh yang pada umumnya dikenal dengansebutan Pasirah. Dengan kualifikasi tertentu, pemimpin marga disebut pula sebagai Depati dan Pangeran. Seorang kepala marga, untuk dapat disebut sebagai Depatiialah  apabila ia telah berhasil dipilih untuk memangku jabatan Kepala Marga paling tidak selama dua kali berturut-turut, sedangkan Pangeran ialah dipilih minimal lima kali berturut-turut.
Berbeda dengan marga dalam masyarakat lain seperti Tapanuli, yang mengacu pada akar genealogis atau keturunan, di Ogan Ilir (dan Sumatera Selatan pada umumnya) dalam kondisinya yang terakhir sebelum dibubarkan, marga lebih mengacu pada ikatan teritorial atau kewilayahan dan batasan administratif. Pada mulanya, marga memang  terbentuk secara genealogis, tetapi terjadi proses ‘degenealisasi’ dalam perkembangan sejarah marga, sehingga sifat genealogis itu lambat laun memudar. Hal ini memperlihatkan bahwa sebagai suatu pranata dan lingkungan tempat berinteraksi bagi warganya, marga memiliki sifat yang fleksibel. Sifat fleksibel itu terlihat pula melalui berbagai peristiwa internal seperti pemekaran suatu marga maupun dusun, dan secara eksternal terlihat pada kemampuannya beradaptasi dengan berbagai aturan yang berasal dari sumber-sumber yang bersifat  suprastruktur.
Pertambahan ataupun penyebaran penduduk, merupakan salah satu penyebab terjadinya pemekaran suatu marga. Karena pemekaran itu, maka jumlah marga di Sumatera Selatan selalu bertambah dari masa ke masa. Menurut catatan yang dibuat pada tahun 1879 dan 1932 seluruh marga yang ada di Sumatera Selatan (pada waktu itu disebut Karesidenan Palembang) berjumlah 174 marga. Pada tahun  1940, menjelang masa kemerdekaan, jumlah itu  menjadi 175 marga, sedang pada masa kemerdekaan di awal masa orde baru, tahun 1968, berjumlah 1781marga.  Pada tahun 1983, ketika marga-marga dibubarkan, jumlah seluruh marga di Sumatera Selatan mendekati angka 200.
Pada sisi lain, perubahan pada lingkungan yang lebih makro seperti munculnya pengaruh kekuasaan dari lembaga kasultanan yang berpusat di Palembang, juga kehadiran kolonial belanda dan pendudukan Jepang, serta terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia merupakan tatanan makro yang masing-masing menerapkan regimentasinya, menguji sifat fleksibelitas marga. Terlihat dengan jelas sepanjang data yang dapat dikumpulkan, bahwa telah terjadi perubahan perubahan penting yang mewarnai sejarah marga akibat kebijakan-kebijakan dari pihak keraton, kolonial Belanda, pemerintah pendudukan Jepang dan kebijakan yang bersumber dari negara Republik Indonesia.
Sebagai suatu lingkungan kehidupan di pedesaan Sumatera Selatan, marga memberikan ruang gerak yang sangat terbuka dan dapat menampung berbagai hajat hidup serta keperluan masyarakatnya. Dalam marga masyarakat memperoleh jaminan ketertiban dan keamanan, kepastian hukum, kepastian akan adanya peluang untuk menyalurkan bakat dan minat  politik, peluang untuk mengatasi kebutuhan ekonomi, memperoleh kepastian jaminan hidup, dan kepentingan-kepentingan lainya. Secara bertahap dan sistematis, marga telah mengembangkan adat istiadat serta memiliki undang-undang khusus yang memuat berbagai aturan yang memang mencakupi berbagai aspek kehidupan masyarakat yang kompleks.
Sebagai suatu struktur sosial politik, marga memiliki kewenangan yang cukup luas, dan dengan menggunakan teori van Vollenhoven tentang catur praja, lembaga ini telah mencakupi perundangan, pelaksanaan, pengadilan, dan kepolisian.
Dalam hal ini, terlihat dengan jelas bahwa marga membuat peraturan sendiri dan melaksanakan sendiri peraturannya, sungguhpun di bawah pengawasan suatu lembaga yang bersifat supra-struktur yang berada di atasnya. Pada sisi lain, ditinjau dari sudut pandang masyarakat setempat, marga memang benar-benar memiliki peranan yang efektif sebagai pranata sosial-budaya yang asli dan yang tertinggi setelah lembaga keluarga, kampung, dan lembaga dusun.
Sebagaimana di tempat lain, di Sumatera Selatan keluarga inti (nucleus family) yang dipertalikan oleh ayah dan ibu. Maka dalam keluarga inti terdapat ayah, ibu, dan anak-anaknya. Sedangkan keluarga yang diperluas (extended family) adalah lingkungan yang dipertalikan oleh kakek-nenek dan perbesanan atau hubungan akibat perkawinan. Dalam lingkungan keluarga yang diperluas ini selain keluarga inti, termasuk pula kakek nenek, paman bibi, saudara misan.
Marga pada mulanya terbentuk secara genealogis, di mana suatu rumpun keluarga tertentu menghuni suatu tempat, dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pemukiman kelompok mereka. Seiring denganperjalanan waktu, jumlah anggota masyarakat dalam kelompok satu rumpun keluarga itu lambat laun bertambah. Pertambahan itu terjadi karena peristiwa alami di mana jumlah generasi baru yang lahir dan menetap di tempat itu lebih besar dari jumlah mereka yang pergi ataupun meninggal dunia. Karena tempat itu memberikan daya tarik dan memberikan jawaban atas kebutuhan ekonomis atau kebutuhan lainnya, maka kelompok itu bertambah jumlahnya karena pendatang adanya penduduk baru yang pindah dari tempat lain dan mencari penghidupan di sana. Dengan kondisi itu, tempat yang bersangkutan mulai dihuni oleh masyarakat yang memiliki asal-usul genetika berbeda-beda.
Secara bersamaan, dalam komunitas itu mulailah tumbuh suatu adat dan kaidah yang mengatur kehidupan bersama. Adat kaidah yang tumbuh itu dipertahankan dan disosialisasikan untuk dipedomani dalam peri kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Secara sederhana, selanjutnya adat yang tumbuh itu telah menjadi dasar dan acuan untuk dilestarikan dan dipatuhi bersama oleh rakyat yang bersangkutan.
Tiap-tiap orang dalam masyarakat sejak dilahirkan telah merasa menjadi bahagian atau anggota masyarakat di mana ia berada. Kepadanya, ditanamkan nilai-nilai kelompok agar identitasnya tumbuh dalam batas-batas yang dibenarkan kelompok. Tiap-tiap usaha untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama yang ada da­lam masyarakat itu dirasakan sebagai usaha bersama, setiap orang merasa dan menyadari tanggungjawab bersama mengenai penyelenggaraan. Setiap orang mempunyai tanggungjawab atas tiap-tiap gerak atau kemajuan dalam lingkungan masyarakat adat di mana ia menjadi anggota.
Setiap pelanggran tata masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang mengganggu equilibrium di dalam kehidupan sosial ekonomi dan kebudayaan dalam masyarakat. Keadaan hidup bermusya­warah seperti ini membuat masyarakat yang bersangkutan sebgai satu kesatuan sosial yang memiliki, memelihara dan mempertahankan norma yang berlaku di dalamnya. Kesadaran tersebut menimbulkan pembagian tugas dalam masyarakat yang bersangkutan sesuai dengan kemajuan dan aspirasi para anggotanya.
Dengan cara seperti itu, maka dalam masyarakat itu telah mulai terbentuk pula suatu lembaga pengatur dan penyelenggara kepentingan adat. Mereka adalah para penguasa adat. Sesuai dengan adat yang berlaku, Keterbatasan jumlah anggota masyarakat dalam suatu dusun, memungkinkan hubungan yang terjadi antar mereka sangat akrab. Berdasarkan ketentuan tersebut adat istiadat yang sedang mereka kembangkan, dalam menghadapi suatu pekerjaan untuk kepentingan bersama, dilakukan secara bersama-sama, tanpa pamrih, dan bersifat gotong-royong. 
Karena berbagai sebab seperti didorong oleh kepentingan yang bersifat ekonomis, atau pula  didesak oleh kelompok yang lebih banyak dan lebih kuat dan sebagainya, maka terjadi migrasi. Dalam keadaan ini,  rakyat dari kelompok yang kecil itu pindah ke tempat lain dan menempati ber­sama suatu daerah bersama yang lebih menjanjikan. Maka terciptalah kelompok baru. Kelompok baru yang semula memiliki anggota yang sedikit, seiring perjalanan waktu menjadi lebih besar jumlahnya.  sehingga kelompok-kelompok yang kecil itu menjadi satu kelompok yang besar; daerah bersama di mana terdapat kelompok-kelompok kecil (keluarga-keluarga).
Masyarakat dalam kelompok baru, selanjutnya tentu memerlukan sistem kekuasaan sehingga dapat mengatur dan menyelenggarakan adat istiadat yang telah tumbuh atau telah ada dalam masing-masing individu sebelumnya. Pada akhirnya warga kelompok yang bersangkutan, memilih atau menunjuk penguaasnya secara mufakat atau dengan cara pemilihan. Diharapkan, kelak para penguasa yang mereka pilih itu dapat bertugas mengatur dan mengurus kepentingan bersama. Dengan cara seperti itu, terjadilah satuan-satuan masyarakat teritorial dan genealogis yang dinamakan dusun.
Dusun-dusun yang telah terbentuk dan memiliki sistem pemerintahan itu kemudian mengelompokkan diri bersama dusun-dusun lain yang berdekatan, sehingga terciptalah suatu gabungan kelompok pemukiman yang meliputi wilayah lebih besar dan disebut marga. Jadi, jelaslah bahwa sesuai dengan proses sebagaimana desebutkan tadi, marga terbentuk dari gabungan dusun-dusun yang mengikatkan diri satu sama lain untuk bersama-sama menata kehidupan sosial-politik.
Pola pembentukan marga yang memperlihatkan kemauan masyarakat dusun semacam ini, terjadi pula dengan peristiwa pembentukan marga baru dalam peristiwa pemekaran marga. Hal ini antara lain ditemukan pada marga Rambang Kapak Tengah yang atas kehendak warga dusun dimekarkan menjadi Rambang Kapak Tengah I dan II. (Kedua bekas marga ini sekarang berada di wilayah Prabumulih).  Demikian pula halnya dengan  pemekaran marga Pegagan Ilir Suku III yang memekarkan diri dari marga Pegagan Ilir Suku I. (Kedua bekas marga ini sekarang berada di Ogan Ilir).
Marga merupakan suatu wilayah yang sangat luas, dan memiliki sifat yang sangat terbuka terhadap perpindahan penduduk. Dengan kondisi itu, adalah peristiwa yang lumrah apabila karena alasan ekonomi, perkawinan, atau alasan lainnya, seseorang melakukan perpindahan dari satu marga ke marga yang lainnya. Peristiwa perpindahan  penduduk semacam ini selanjutnya menjadikan wilayah marga tidak lagi hanya dihuni oleh kelompok masyarakat yang berasal dari satu keturunan saja. Akibatnya, sifat genealogis menjadi kabur dan marga kemudian juga dikenali sebagai suatu kesatuan wilayah.

ELIT MARGA PDF Print E-mail

Di dalam lingkungan marga terdapat beberapa tokoh yang menempati posisi elit. Mereka ini adalah Pasirah (termasuk Depati dan Pangeran), Pembarab, dan Penghulu. Pasirah adalah orang yang memimpin marga dan disebut pula sebagai Kepala Marga; Pembarab, dalam konteks kemargaan adalah orang yang menjadi Wakil Kepala Marga dan memiliki wewenang untuk menggantikan pasirah apabila sedang tidak berada di tempat. Pembarab adalah kepala dusun tempat kedudukan ibukota marga. Rekruitmen tokoh-tokoh ini dilakukan dengan melalui jalan yang sangat demokratis.
Suatu kenyataan yang cukup menarik, meski istilah demokrasi dipopulerkan di pedesaan di Sumatera Selatan baru pada masa kemerdekaan, tetapi secara material prinsip-prinsip demokrasi telah dipraktekkan masyarakat secara tradisional sejak masa-masa jauh sebelumnya. Seseorang yang akan mencapai posisi kepemimpinan dalam suatu marga maupun dusun, terlebih dahulu melalui proses pemilihan oleh masyarakat dalam lingkugan marga itu. Pada masa lalu, pemilihan dilakukan secara terbuka yaitu dengan menerapkan sistem pilih cumpuk. Dalam pemilihan sistem  pilih cumpuk, pemilihan dilakukan di tempat terbuka seperti tanah lapang. Para kandidat di tempatkan berjajar membelakangi tempat kosong yang dipersiapkan untuk mata pilih yang memilihnya. Selanjutnya, mata pilih (konstituen) dipanggil namanya satu persatu memasuki arena. Selanjutnya sesuai dengan pilihannya, ia akan menempatkan diri ke tempat yang telah disediakan di belakang calon tertentu. 
Dengan pemilihan menggunakan sistem pilih cumpuk seperti ini proses pemilihan menjadi sangat transparan dan terbuka, karena setiap orang yang ada di tempat itu dapat langsung menyaksikan dan menghitung baik dari segi jumlah maupun dari segi identitas para pendukung dan kandidat tertentu. Tidak dapat diragukan lagi, sistem pilih cumpuk ini dapat menekan atau bahkan menghindari manipulasi jumlah suara.
Pada kasus tertentu, pemilihan kepala marga dilakukan secara aklamasi. Pemilihan secara aklamasi ini terjadi pada rekruitmen kepala marga Pegagan Ilir  SukuDua atau marga Sungai Pinang pada masa awal sejarah keberadaan marga ini. Menurut catatan Haji Zainal Arifin, Pembarab Marga PIS II (1943-1945), marga ini telah ada secara resmi sekitar tahun 1870 berkedudukan di Sungai Pinang, di bawah kepemimpinan seorang Pasirah. Sebelum masa itu, lingkungan ini berada di bawah kepemimpinan seorang Jenang, yang berkedudukan di Talang Pegadungan. Jenang ini, meski bukan kerabat keraton adalah seorang pejabat yang memiliki ikatan yang sangat dekat dengan pihak keraton Palembang Darussalam.
Suksesi yang terjadi dalam lingkungan keraton Palembang Darussalam, memberikan pengaruh pula terhadap perkembangan kehidupan masyarakat di pedalaman, temasuk di Ogan Ilir. Sebagaimana diketahui, sejak Sultan Mahmud Badaruddin II diasingkan ke Ternate, kasultanan Palembang Darussalam dikuasai oleh mereka yang mendukung pihak kolonial sampai pihak yang disebutkan terakhir ini membubarkan kasultanan. Kondisi yang terjadi di lingkungan kasultanan ini, mengakibatkan efektivitas pengaruh jenang menjadi merosot. Dalam kondisi seperti itu, terbentuklah marga Pegagan Ilir Suku Dua.

RELIJIUSITAS MASYARAKAT PDF Print E-mail

Article Index
RELIJIUSITAS MASYARAKAT
Page 2
Page 3
Mayoritas penduduk di Ogan Ilir memeluk agama Islam. Di berbagai tempat didirikan bangunan ibadahberupa masjid ataupun langgar. Di masjid dan langgar ini diselenggarakan berbagai kepentingan. Bukan hanya untuk penyelenggaraan peribadatan mahdlah tapi juga untuk kepentingan lain seperti pengajaran agama, cawisan, bahkan tidak jarang rapat tentang pembangunan suatu desa diselenggarakan di masjid pula. Tokoh agama merupakan figur yang memiliki peranan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sejak masa lalu tokoh keagamaan selalu terlibat dalam berbagai acara-acara baik yang berkaitan dengan peribadatan yang mahdlah, maupun dalam upacara yang berkaitan dengan siklus hidup seperti kelahiran,  kematian, dan perkawinan. Di Ogan Ilir banyak sekali ditemukan nilai keislaman yang terkait dengan upacara menandai siklus kehidupan seperti itu.
Untuk perkawinan, selain pada syarat dan rukun, nilai keislaman terlihat memberikan pengaruh pada adat-stiadat di sekitar perkawinan seperti pada penyelenggaraan akad nikah, juga pada acara resepsi. Dalam dua acara ini, peranan tokoh agama sangat penting dan menduduki jadual inti. Demikian pula halnya dengan upacara kelahiran dan kematian.
Terkait dengan kelahiran, terdapat upacara cukuran yaitu menyambut kelahiran bayi dengan melalui upacara Marhaba.  Marhaba berasal dari bahasa Arab yang berarti Selamat Datang. Upacara ini disebut marhaba karena upacara tersebut memang diselenggarakan sebagai ucapan selamat datang kepada sang bayi. Dalam upacara Marhaba ini sebelum pembacaan doa-doa, dibacakan barzanji. Istilah barzanji dimaksudkan untuk rangkaian kisah kehidupan Rasulullah Muhammad s.a.w. dalam bentuk gubahan syair berbahasa Arab dalam kitab yang ditulis oleh Al-Barzanji, seorang penulis muslim pada masa klasik. Pada acara Marhaba ini dilakukan pemberian nama yang indah-indah sesuai dengan harapan orang tuanya terhadap bayi yang baru dilahirkan itu. Selain dalam upacara yang berkaitan dengan kelahiran, pengaruh keagamaan terlihat pula secara sangat kentara pada upacara yang diselenggarakan berkaitan dengan kematian. Selain pada hari pertama, masyarakat Ogan Ilir pada umumnya menyelenggarakan pula upacara hari  ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, setahun. Dalam upacara tersebut pada umumnya dibacakan surat Yaa Siin, yaitu surat nomor 35 dalam Al-Quran, kalimat tahlil dan dasbih, doa-doa, dan nasihat-nasihat di sekitar keutamaan orang beramal shalih, dan ketabahan menghadapi  musibah.
Selain perkawinan, kelahiran, dan kematian, masih banyak acara lain yang dalam penyelenggaraannya mendapatkan pengaruh dari nilai atau emosi keagamaan seperti khitanan, aneka persedekahan  termasuk sedekah ruwah, sedekah lebung, sedekah basuh dusun, akan bepergian ke (pulang dari) tempat jauh,  memulai kegiatan penting (belajar, pacuan bidar). Nilai keagamaan terlihat pula pada peringatan hari besar keagamaan seperti maulud (kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.) Isra’ Mi’raj, Tanggal 1 bulan  Muharram (peringatan tahun baru Hijriyah), 10 Muharram yang disebut sebagai hari Asyura, hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha). Kegiatan selama sebelum dan selama masa bulan ramadlan / ziarah menjelang dan sesudah ramadlan, termasuk tradisi malam likuran antar-antaran dan sebagainya.
Sejak masa lalu banyak  ulama di tempat ini belajar langsung ke sumber asal agama Islam di Timur Tengah yaitu Makkah, Madinah, juga di Al Azhar Kairo.  Sepulang dari tempat belajar, atas inisiatif sendiri dengan ikhlas mereka menyelenggarakan pengajaran dan membentuk kelompok cawisan, mengajarkan pengetahuan dan praktek keagamaan kepada masyarakat. Dari sini kemudian dibentuk lembaga permanen dan terjadual lebih sistematis. Tidak sedikit di antara lembaga semacam ini yang berkembang menjadi lembaga pendidikan seperti pesanteren dan madrasah diniyah.
Pesanteren Al Ittifaqiah Indralaya, Raudhatul Ulum Sakatiga, Nurul Islam Seri Bandung, merupakan tiga dari pesanteren Ogan Ilir yang  memulai sejarahnya sejak masa kolonial, dalam bentuk cawisan dan pengajian sederhana.
Pesanteren Al-Ittifaqiah Indralaya.
Bermula dari cawisan dan pengajian, menjadi madrasah pada masa kolonial Belanda. Sempat menghilang karena dibakar pada masa pendudukan Jepang, mengalamipergantian nama dan perpindahan tempat, dewasa ini pesantren Al Ittifaqiah berkembang menjadi pesanteren modern.
Pada mulanya KH Ishak Bahsin, ulama lulusan al Azhar Kairo mulai melaksanakan pengajaran ilmu-ilmu keislaman di rumahnya di Sakatiga. Kitab yang yang menjadi sumber adalah kitab-kitab kuning dari Mesir, dan sistem yang diterapkan ialah masih bersifat sorogan, tanpa kelas dan bukan terlembaga dalam bentuk madrasah. Kegiatan seperti ini berjalan sejak 1918 sampai 1922.
Setelah empat tahun, ia mendirikan dan memimpin madrasah formal dengan masa belajar 8 tahun yang diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Siyasiyah Alamiyah. Selain pimpinan madrasah, selaku pimpinan KH Ishak Bahasin bertindak pula sebagai guru dengan dibantu oleh beberapa orang guru bantu. Dalam perkembangannya selama sepuluh tahun, murid madrasah ini berjumlah seratus orang. Tempat beroperasi madrasah ini ialah di bawah rumah penduduk di Sakatiga. Baru pada tahun 1932, dibangunlah gedung madrasah dengan ruang belajar sebanyak lima lokal. Pada masa ini KH Ishak Bahasin selain memimpin juga tetap menjadi guru, yang dibantu oleh KH Bahsin Ishak, KH Marwah, KH Bahri Pandak, KH Ahmad Qori Nuri, KH Abdullah Kenalim, Kiai Muhammad Rosyad Abdul Rozak, dan Kiai Abdul Rohim Mandung.
Setelah KH Ishak Bahsin wafat pada tahun 1936, kepemimpinan madrasah dilanjutkan oleh puteranya KH Bahsin Ishak sampai tahun 1943 dalam masa pendudukan Jepang, gedung madrasah ini dibakar orang tak dikenal sehingga kegiatan belajar mengajar secara praktis mengalami gangguan serius. Ketika itu jumlah siswa 300 orang. Selanjutnya, empat tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, tahun 1949 atas prakarsa KH Ahmad Qori Nuri mengajak KH Ismail Muhyiddin dan H Yahya Muhyiddin dan para anggota Partai Syarikat Islam Indonesia Sakatiga, puing madrasah yang terbakar itu dibangun kembali dan pada tanggal 31 Maret 1950 dengan 70 orang murid, kegiatan belajar dimulai kembali. Kali ini dengan menggunakan nama Sekolah Menengah Islam (SMI) Sakatiga di bawah kepemimpinan KH Ismail Muhyiddin. Para guru yang mengajar  adalah KH Ismail Muhyiddin, KH Ahmad Qori Nuri, KH Nawawi Bahrie, KH Ahmad Mansur, Kiai Ilyas Ishaq, dan KH Subki Syakroni. Tahun 1954 KH Ismail Muhyiddin wafat, kedudukannya sebagai pimpinan digantikan oleh KH Ahmad Qori Nuri dan mengembangkan  fisik bangunan dan menambah tenaga pengajar  dengan KH Zainuddin, KH Kholil Hajib, KH Bayumi Yahya, KH Ali Hasyim, Tho’ifi Bahri, Sukarno, Faruq, Swasto, dan Masri Amawi.
Pada tahun 1962 dan tahun-tahun berikutnya terjadi perkembangan cukup penting, nama SMI berubah menjadi Madrasah Menengah Atas (MMA) Sakatiga, dengan penyelenggaraan pendidikan yangdisesuaikan dengan Departemen Agama.  Pada tahun 1967, ada maksud beberapa kiai dan guru untuk menyerahkan madrasah ini kepada pemerintah sehingga menjadi negeri, tetapi KH Ahmad Qori Nuri selaku pimpinan bersama murid-murid KH Ishaq Bahsin mengkhawatirkan madrasa ini akan kehilangan jati-diri dan nilai sejarahnya apabila menjadi negeri. Maka atas dukungan pula oleh tokoh masyarakat Indralaya padaDepartemen Agama (Depag), berupa Taman Kanak-Kanak, Madrasah Aliyah Keagamaan, dan Sekolah Tinggi Agama Islam. Selain itu diselenggarakan pula pendidikan dengan kurikulum khusus yang diterapkan pada madrasah Tahfizh Al-Quran untuk jenjang pendidikan sekolah dasar, ibtidaiyah dan Sekolah Tinggi Dakwah untuk jenjang D-1 dan D-3.

Pesanteren Raudhatul Ulum menyelenggarakan pula pendidikan ekstra kurikuler yang meliputi pendalaman ilmu-ilmu Al-Quran, organisasi kemasyrakatan, kajian kitab-kitab klasik, organisasi kemasyarakatan, keterampilan, kegiatan koperasi, kepanduan, pembinaan bahasa Arab dan Inggris, karya tulis, cinta alam, dan kegiatan lain sesuai denganminat dan bakat santri. Santri pesanteren ini berasal dari berbgai daerah di bagian selatan pulau Sumatera, dan tempat lain seperti Nagroe Aceh Darussalam, dan Banten.
Nurul Islam Seribandung
Pesanteren Nurul Islam Seribandung didirikan oleh Kiai Haji Anwar bin Haji Kumpul pada tanggal 1 No-pember 1932. Berdirinya pesanteren ini lantaran dido-rong oleh kehendak masyarakat setempat yang mem-butuhkan lembaga pendidikan keislaman yang bersifat lebih sistematis dan formal. Sebagaimana pesanteren pada umumnya, pesanteren ini bermaksud mendidik, membimbing serta membawa santri agar menjadi mus-lim yang berilmu, beriman, beramal shaleh serta bera-khlak mulia. Selanjutnya, para santri itu kelak diha-rapkan dapat menjadi anggota masyarakat yang ber-daya-guna, berbakti terhadap agama, tanah air dan bangsa dengan jiwa ketakwaan kepada Tuhan Yang Ma-haesa.
Setelah berhasil melampaui masa kolonialisme Belanda, pesanteren ini merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang dapat bertahan pula dari teka-nan koloni pada masa pendudukan militer Jepang yang teramat sulit itu.
Menurut catatan yang dibuat pada tahun 2003 jumlah santri yang belajar berbagai jenjang pendidikan di pesanteren Nurul Islam Seribandung telah men-capai 1.064 dengan perincian tingkat Ibtidaiyah 143 santri, Tsanawiyah 549 santri, dan Aliyah 372 santri. Madrasah Ibtidaiyah dipimpin oleh Drs. Khuwailid An-war, Tsanawiyah dipimpin oleh Drs. KH A. Anwar, se-dangkan Aliyah Drs. H. Zumrowi Anwar. Para santri i-tu berasal dari berbagai daerah terutama di lingkungan Sumatera Selatan.

Pesanteren-Pesanteren Lain
Selain pondok pesanteren yang disebutkan, di Ogan Ilir masih banyak terdapat pesantern yang tersebar di berbagai desa seluruh kecamatan. Sebagaimana catatan yang dibuat Forum Pesanteren Sumatera Selatan, pondok pesanteren itu ialah pesanteren Darul Iman Serikembang pimpinan Ustaz Suaidi Abdul Rozi, Raudhatul Quran Payaraman pimpinan H. Hendri Zainuddin, S. Ag.,  Darunnajah Bangun Jaya pimpinan Drs. Romzul Faiyad,SH., Masdarul Ulum Teluk Kecapi pimpinan Nyai Latifah, Inayatullah Limbang Jaya, Nurul Yaqin Tanjung Atap pimpinan Ust. Istifadah Rosyad, S. Ag.,
Darussalam Seri Kembang pimpinan Ust. Joko Santoso, Al Istiqomah Lorok pimpinan Drs. Amir Hamzah, Nurul Hilal Senuro pimpinan KH Idrus Rusik, Miftahus Salam Tanjung Pinang pimpinan HM Sani Indawan, SH, Al Barokah Tanjung Batu Seberang pimpinan Ahmad Darfai, Tarbiyatul Islamiyah Limbang Jaya pimpinan KM Soleh Amin, Darul Falah Tanjung Jirim pimpinan Ust M. Zet H. Umar, A. Md.,  Amjaiyah Tanjung Batu pimpnan KH Zen Nawawi, dan Nurul Ulum Tanjungsari  piminan Tenku Azmi A. Hadi
Semangat keagamaan selain yang hidup dalam tradisi masyarakat,  juga terwujud melalui banyaknya lembaga pendidikan keislaman seperti pesanteren menegaskan asal usul dan dasar yang sangat  bagi predikat santri bagi Kabupaten Ogan Ilir.  Dari sekian banyak kabupaten yang ada di Indonesia, hanya Kabupaten Ogan Ilir yang secara resmi menyandang predikat Santri. Dalam naskah resmi kabupaten ini disebutkan bahwa santri memiliki dua pengertian yaitu pertama secara harfiah ialah aktivitas sehari-hari masyarakat Ogan Ilir yang selalu dilandasi nilai-nilai agama Ialam.
Pengertian yang pertama ini sejalan dengan pandangan Clifford Geertz, seorang antropolog yang juga mendefenisikan santri sebagai kaum muslimin yang memiliki pengetahuan mendalam dan mengamalkan Islam secar ketat. (Ia membedakan pengertian santri dengan abangan yang bersifat sekular dan profan). Pengertian kedua, santri diartikan sebagai akronim  dari kata Subur, Aman, Nyaman, Tertib, Relijius, dan Indah. Pengertian pertama memberikan gambaran tentang watak kepribadian, sedangkan pengertian yang kedua menampilkan konsep dan kerangka kerja yang lebih operasional dan sistematis.  Konsep ini pada tingkat yang lebih nyata, selanjutnya memang diharapkan dapat menjadi nafas seluruh program, kegiatan, dan kinerja bersama masyarakat dan pemerintahan di Ogan Ilir.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar